Selasa, 19 April 2011

Jenis Stres & Stres Lingkungan

C. Jenis Stres

Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang di bedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stres. Systemic stres didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia atau temparatur ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari sitem saraf otonom, termasuk di dalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh. Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang di dalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik. Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stresor dating secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya ((dalam Heimstra & McFarling, 1978). Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti ditempat kerja, dilingkungan fisik dan kondisi social. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah ataupun lingkungan kerja.
Sumber Stres (Stressor). Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stres, yang pertama adalah fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya. Kedua, kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian. Yang ketiga adalah daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai didalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja, atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.
Dalam lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres (Zimring dalam Prawitasari, 1989).

D. Stres Lingkungan

Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam.
Pengandaian kedua adalah bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang control, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak.
Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi stres menjadi berkurang dan melemah.
Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres tersebut berkurang (Iskandar ,1990).
Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial akan merupakan sumber stres bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memprhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristrirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya, penghuni seringkali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tudak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Hubungan antara manusia sangat penting, untuk itu perumahan sebaiknya juga memperhatikan kebutuhan tersebut.
Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stres bagi penghuninya (Zimring dalam Prawitasari, 1989).
Keberhasilan suatu bangunan perumahan atau daerah pemukiman dalam terminologi perilaku dapat digunakan penilaian berdasarkan tingkat kepuasan penghuni dan kebetahan penghuni ditempat tinggalnya.
Di dalam membahas hubungan manusia dengan lingkungan binaan, maka pada lingkungan binaan tersebut diharapkan akan didapat ungkapan-ungkapan arsitektur berupa pola-pola yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan konsepsi bangunan. Perubahan-perubahan konsepsi pada bangunan itu terjadi pada perilaku penghuni terhadap tata atur yang telah tercipta pada bangunan itu duhulunya. Akibat dari pergeseran perlakuan atau aktivitas dari penghuni mengakibatkan kerancauan visual dan tata atur bangunan tersebut.
Sementara itu, dua ahli lain yaitu Lazarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengidentifikasikan stres lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang datang dari dunia sekitar. Setiap individu selalu mencoba untuk coping dan beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan dan kemarahan yang dimilikinya.
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stres lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang rebut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.
Baum, Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
1. Stresor fisik (misalnya: suara)
2. Penerimaan individu terhadap stresor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)
3. Dampak stresor pada organisme (dampak fisiologis)

Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stres di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
a. Stres karena teman kerja (partner)
b. Stres karena anak-anak
c. Stres karena pengaturan tempat tinggal setempat
d. Tekanan-tekanan lingkungan

Sumber: Hendro Prabowo, 1998
http://elearning.gunadarma.ac.id/

Selasa, 12 April 2011

STRES

A. Pengertian Stres
Beberapa pengertian Stres menurut para ahli :
• Istilah stres dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah sters dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
• Menurut Lazarus (1976) sters adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada suatu internal dan eksternal.
• Menurut Korchin (1976) keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.
• Menurut Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu : Stimulus, Respon, dan Proses.

1. Stimulus
Keadaan / situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stressor menjadi tiga :
a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi
b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai
c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak dan bising




2. Respons
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stressor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu : komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a. Komponen psikologis, seperti: perilaku, pola berpikir, dan emosi
b. Komponen fisiologis, seperti: detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat, dan sakit perut
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.

3. Proses
Stress sebagai suatu proses terdiri dari stressor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dengan lingkungan, yang di dalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

B. Model Stres
Cox (dalam Crider dkk, 1983) mengemukakan 3 model stress, yaitu : Response-based model, Stimulus-based model, dan Interactional model.

a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stresor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.

b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut :

1. Overload
Karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.

2. Conflict
Konflik diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.

3. Uncontrollability
Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/tidak tergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi. Penelitian tentang tujuan ini menunjukkan bahwa stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan control waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.

c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari response-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengcoping (mengatasi). Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu, yaitu :
1. Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkungan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.
2. Ketika individu tidak mampu untuk mengcoping stressor.
Pengertian coping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosional, kognitif serta reaksi psikis.

Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress di dalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mengcoping. Stress dapat menjadi tinggi apabila ada ketidakseimbangan antara dua faktor, yaitu ketika tuntutan melampaui kemampuan coping. Stress dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.

Sumber: Hendro Prabowo, 1998
http://elearning.gunadarma.ac.id/

Selasa, 05 April 2011

PRIVASI

Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi itu yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk beriteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang sebagai hanya penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrigthtman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; kira, 1966 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari katerlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukan suatu control yang selektif atau sustu proses yang aktif dan dinamis.
Kemudian Altman menjelaskan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengaruh dan pengontrol interaksi interpersonal. Kedua, merencanakan dan membuat membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain. Dan ketiga, memperjelas konsep diri dan identitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi) untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”.
b). Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomonikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986).
d). Ruang personal
Ruang personal adalah salah stu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman, 1975) mendefinisikan beberapa karateristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Bergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelanggaran ruang oersonal oleh orang lain akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini di kontrol dengan kuat. Kebanyakan penelitian menunjukan bahwa ondividu yang mempunyai kecenderungan berafiliasi tinggi, ekstrovert atau yang mempunyai sifat hangat dalam berhubungan interpersonal mempunyai ruang personal yang lebih kecil daripada individu introvert (Giffort, 1987).
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Privasi

Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu factor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
Faktor personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve pada saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya dikota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbadaan dalam merespon perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu menunjukan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasindalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinnggi rendahnya privasi dalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari
Faktor Budaya. Penemuan dari beberpa peneliti tentang privaasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) disuatu desa dibagian selatan India menunjukan bahwa semua keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal sering sekali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India.
Studi Patterson dan Chiswisk (dalam Gifford, 1987) dibawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak, Kalimantan. Orang-orang Iban tinggal dirumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk menyendiri atau keintiman ada dibelakang pintu-pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat memprihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chiswick menemukan orang Iban tampaknya membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda. Mekanisme-mekanisme ini adalah suatu kesepakatan sosial. Sebagai contoh, orang Iban memiliki cara khusus untuk berganti pakaian didaerah yang bersifat public dengan cara yang sederhana. Terdapat aturan-aturan bagi anak-anak untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Rumah panjang itu tertutup bagi anak-anak dalam banyak kesempatan. Pada saat mulai pubertas, ruang tidur anak mulai dibedakan berdasarkan jenis kelaminnnya
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggau privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal secara selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berhubungan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengukur sifat dan gaya interaksi sosial dengn orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negative tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi (Sarwono, 1992).
Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari prifasi dapat di bagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola inetraksi sosial yang kompleks didalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan persaan identitas pribadi.


Privasi dalam Konteks Budaya

Perbedaan wilayah Geografis berdampak pada perbedaan privasi yang terdapat pada penduduk yang berada diwilayahnya. Di Amerika banyak orang menggunakan ruang-ruang tertentu seperti kamar tidur, kamar mandi dan ruang makan untuk menyendiri.

Sumber : Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur,Pikologi dan masyarakat. Depok: Gunadarma
http://psikologilingkunganrahmawati.wordpress.com/2011/03/29/privasi/