C. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang di bedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stres. Systemic stres didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia atau temparatur ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari sitem saraf otonom, termasuk di dalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh. Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang di dalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik. Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stresor dating secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya ((dalam Heimstra & McFarling, 1978). Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti ditempat kerja, dilingkungan fisik dan kondisi social. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah ataupun lingkungan kerja.
Sumber Stres (Stressor). Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stres, yang pertama adalah fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya. Kedua, kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian. Yang ketiga adalah daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai didalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja, atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.
Dalam lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres (Zimring dalam Prawitasari, 1989).
D. Stres Lingkungan
Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam.
Pengandaian kedua adalah bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang control, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak.
Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi stres menjadi berkurang dan melemah.
Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres tersebut berkurang (Iskandar ,1990).
Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial akan merupakan sumber stres bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memprhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristrirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya, penghuni seringkali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tudak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Hubungan antara manusia sangat penting, untuk itu perumahan sebaiknya juga memperhatikan kebutuhan tersebut.
Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stres bagi penghuninya (Zimring dalam Prawitasari, 1989).
Keberhasilan suatu bangunan perumahan atau daerah pemukiman dalam terminologi perilaku dapat digunakan penilaian berdasarkan tingkat kepuasan penghuni dan kebetahan penghuni ditempat tinggalnya.
Di dalam membahas hubungan manusia dengan lingkungan binaan, maka pada lingkungan binaan tersebut diharapkan akan didapat ungkapan-ungkapan arsitektur berupa pola-pola yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan konsepsi bangunan. Perubahan-perubahan konsepsi pada bangunan itu terjadi pada perilaku penghuni terhadap tata atur yang telah tercipta pada bangunan itu duhulunya. Akibat dari pergeseran perlakuan atau aktivitas dari penghuni mengakibatkan kerancauan visual dan tata atur bangunan tersebut.
Sementara itu, dua ahli lain yaitu Lazarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengidentifikasikan stres lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang datang dari dunia sekitar. Setiap individu selalu mencoba untuk coping dan beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan dan kemarahan yang dimilikinya.
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stres lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang rebut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.
Baum, Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
1. Stresor fisik (misalnya: suara)
2. Penerimaan individu terhadap stresor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)
3. Dampak stresor pada organisme (dampak fisiologis)
Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stres di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
a. Stres karena teman kerja (partner)
b. Stres karena anak-anak
c. Stres karena pengaturan tempat tinggal setempat
d. Tekanan-tekanan lingkungan
Sumber: Hendro Prabowo, 1998
http://elearning.gunadarma.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar