Selasa, 05 April 2011

PRIVASI

Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi itu yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk beriteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang sebagai hanya penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrigthtman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; kira, 1966 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari katerlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukan suatu control yang selektif atau sustu proses yang aktif dan dinamis.
Kemudian Altman menjelaskan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengaruh dan pengontrol interaksi interpersonal. Kedua, merencanakan dan membuat membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain. Dan ketiga, memperjelas konsep diri dan identitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi) untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”.
b). Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomonikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986).
d). Ruang personal
Ruang personal adalah salah stu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman, 1975) mendefinisikan beberapa karateristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Bergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelanggaran ruang oersonal oleh orang lain akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini di kontrol dengan kuat. Kebanyakan penelitian menunjukan bahwa ondividu yang mempunyai kecenderungan berafiliasi tinggi, ekstrovert atau yang mempunyai sifat hangat dalam berhubungan interpersonal mempunyai ruang personal yang lebih kecil daripada individu introvert (Giffort, 1987).
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Privasi

Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu factor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
Faktor personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve pada saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya dikota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbadaan dalam merespon perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu menunjukan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasindalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinnggi rendahnya privasi dalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari
Faktor Budaya. Penemuan dari beberpa peneliti tentang privaasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) disuatu desa dibagian selatan India menunjukan bahwa semua keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal sering sekali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India.
Studi Patterson dan Chiswisk (dalam Gifford, 1987) dibawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak, Kalimantan. Orang-orang Iban tinggal dirumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk menyendiri atau keintiman ada dibelakang pintu-pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat memprihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chiswick menemukan orang Iban tampaknya membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda. Mekanisme-mekanisme ini adalah suatu kesepakatan sosial. Sebagai contoh, orang Iban memiliki cara khusus untuk berganti pakaian didaerah yang bersifat public dengan cara yang sederhana. Terdapat aturan-aturan bagi anak-anak untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Rumah panjang itu tertutup bagi anak-anak dalam banyak kesempatan. Pada saat mulai pubertas, ruang tidur anak mulai dibedakan berdasarkan jenis kelaminnnya
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggau privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal secara selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berhubungan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengukur sifat dan gaya interaksi sosial dengn orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negative tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi (Sarwono, 1992).
Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari prifasi dapat di bagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola inetraksi sosial yang kompleks didalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan persaan identitas pribadi.


Privasi dalam Konteks Budaya

Perbedaan wilayah Geografis berdampak pada perbedaan privasi yang terdapat pada penduduk yang berada diwilayahnya. Di Amerika banyak orang menggunakan ruang-ruang tertentu seperti kamar tidur, kamar mandi dan ruang makan untuk menyendiri.

Sumber : Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur,Pikologi dan masyarakat. Depok: Gunadarma
http://psikologilingkunganrahmawati.wordpress.com/2011/03/29/privasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar